Jumat, 13 Februari 2009

ketika pesantren di kritik

Belum reda permasalahan pro kontar tentang larangan merokok dan golput. Saat ini masyarakat indonesia disibukan dengan pro dan kontra penayangan film Perempuan Berkalung Surban yang diproduksi oleh sutrada muda Hanung Bramantio.
film yang diangkat dari novel karya Abidah Al Khalieqy ini mengandung banyak pembodohan yg tercover seakan-akan sebagai pencerahan dan kebebasan, namun bermakna terbalik
dapat kita lihat saat penggambaran kekejaman syariat Islam terhadap wanita, yg jelas ini film LIBERAL.
Dari judulnya pun kita sudah bisa befikir kalau maksudnya perempuan berkalung sorban itu adalah perempuan itu dibelenggu oleh syariat Islam.
dengan simbol sorban yg harus dilepaskan di akhir film kalau dibilang menyinggung pesantren tradisional juga tidak karena terlihat penulisnnya hanya ingin meyinggung negara yg menerapkan syariat Islam tapi dengang gambaran laen
kebanyakan adegan di film PBS ini menggambarkan syariat dan ajaran Islam itu kejam.
seperti peristiwa rajam, padahal tidak ada dalam Islam orang tiba-tiba langsung dihukum rajam disana sudah jelas dan tak ada khilafiyah/ perbedaan pendapat bahwa tata cara rajam tidaklah se-sadis itu. rajam harus melalui proses, tabayun(klarifikasi), menghadirkan saksi yang sah, dan lain-lain.
Adegan pada saat buku-buku yg dibakar, secara logika wajar saja kalau buku itu dibakar
anak pesantren disuruh membaca novel-novel cinta atau novel liberal lainnya. membacanya juga saat lagi belajar.tidak usah di pesantren di sekolahan umum pun kalau anak murid lagi belajar kemudian membaca buku yg lain, pasti akan disita oleh sekolah.
Penggambaran seakan-akan ustaz-ustaz di pesantren (pelaksana syariat Islamlah) itu kejam dan kiler
masih banyak lagi kalo disebutin disini cara2 gak tepat dari film yg diadatasi dari novel ini, yg jelas nuansa liberal dan latar belakang penulis novel dari film ini keliatan banget, yah wajarlah dari mesi yg mungkin sekarang sudah lebih liberal dari indonesia



Kita tidak perlu membahas hal yang debatable dalam film PBS, cukup melihat hal-hal yang qot’i (pasti dan jelas) dalam film itu dan kita bandingkan dengan dalil yang qot’i juga.

Nah dari situ saja sudah jelas secara qot’i film itu distortif terhadap islam. Hal inilah yang kemudian menjadikan film itu anarkisme psikologis, ahistoris, tidak akademis, dan kontraproduktif, kecuali untuk kepentingan komersial dan propaganda anti islam. Mungkin niat hanung membikin film itu baik, yaitu untuk mengkritisi pondok pesantren yang[katanya: hanung] ada seperti yang ada di film, tapi akan lebih bijak apabila menggandeng ulama yang faham akan islam, tidak mengkonfrontasikan dua buah faham secara kasar dan anarkis seperti itu, sehingga tidak kontraproduktif dan terkesan tidak elegan.

Yang pada intinya semua itu diserahkan kepada penikmat film, terlebih yang sudah menonton film. Bukankah penikmat film sudah cerdas, kita sudah bisa membedakan mana tayangan yang buruk dan mana yang berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar