Minggu, 22 Januari 2012

Permata Indonesia yang Terlupakan

Oleh : Miftahur Rahman El-Banjary, MA
Ditengah krisis kepercayaan terhadap tokoh publik di negeri ini, ternyata bangsa Indonesia masih menyimpan beberapa permata berharga yang seringkali terlupakan. Kenyataannya bahwa kita masih membutuhkan tokoh-tokoh besar yang mampu mengangkat harkat martabat bangsa ini di mata dunia. Kendatipun jumlah mereka relatif kecil, namun kita tidak menafikan bahwa tokoh-tokoh idola itu masih ada. Sayangnya, rekayasa politik dan haus akan kekuasaan seringkali membuat tokoh-tokoh besar itu termarginalkan, bahkan terbuang, lalu tergantikan oleh tokoh-tokoh rekayasa palsu yang tampil seakan-akan sebagai pembela rakyat.

Salah satu tokoh besar yang seringkali terlupakan adalah si jenius Prof. Dr. Ing. B.J Habibie. Siapa yang tidak mengenalnya! Seorang ilmuwan dunia serta Bapak Teknologi yang pernah menjabat sebagai Presiden RI pasca reformasi tahun 1998 lalu. Kariernya sebagai teknorat dalam bidang pengembangan teknologi pesawat terbang, bukan saja telah membawa nama harum bagi bangsa Indonesia di mata dunia, bahkan beliau adalah aset dunia yang paling berpengaruh saat ini. Cukup menyebut sebagai muridnya, orang-orang Barat akan menaruh rasa hormat dan segan. Begitulah pandangan dunia kepada putra terbaik bangsa yang kita miliki!

Bukan hanya saya, lebih seribu mahasiswa Indonesia di Mesir yang hadir pada Forum Dialog Umum bersama Prof. Dr. Ing. B. J Habibie yang berlangsung di gedung ACC (Azhar Conference Center) Cairo, pada Rabu 6/6/2011 kemarin, dibuat berdecak kagum dengan prestasi beliau. Tak banyak orang yang menyadari bahwa teknorat jenius ini telah menyumbangkan karya terbaiknya -sebuah pesawat N250- bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia yang ke- 50. Ingin tahu kenapa dunia begitu menghargai Habibie? Kurang lebih seperti inilah dunia melihatnya.....

Mengapa Dunia Menghormatinya?
Kulit luarnya bisa saja terlihat halus mulus tanpa cacat. Tapi siapa tahu, sisi dalamnya keropos. Ketidakpastian inilah yang dihadapi industri pesawat terbang sampai 40 tahun lalu. Pemakai dan produsen sama-sama tidak tahu persis, sejauh mana bodi pesawat terbang masih andal dioperasikan. Akibatnya memang bisa fatal. Pada awal 1960-an, musibah pesawat terbang masih sering terjadi karena kerusakan konstruksi yang tak terdeteksi. Kelelahan (fatique) pada bodi masih sulit dideteksi dengan keterbatasan perkakas. Belum ada pemindai dengan sensor laser yang didukung unit pengolah data komputer, untuk mengatasi persoalan rawan ini.

Titik rawan kelelahan ini biasanya pada sambungan antara sayap dan badan pesawat terbang atau antara sayap dan dudukan mesin. Elemen inilah yang mengalami guncangan keras dan terus-menerus, baik ketika tubuhnya lepas landas maupun mendarat. Ketika lepas landas, sambungannya menerima tekanan udara (uplift) yang besar. Ketika menyentuh landasan, bagian ini pula yang menanggung empasan tubuh pesawat. Kelelahan logam pun terjadi, dan itu awal dari keretakan (krack).

Titik rambat, yang kadang mulai dari ukuran 0,005 milimeter itu terus merambat. Semakin hari kian memanjang dan bercabang-cabang. Kalau tidak terdeteksi, taruhannya mahal, karena sayap bisa sontak patah saat pesawat tinggal landas. Dunia penerbangan tentu amat peduli, apalagi saat itu pula mesin-mesin pesawat mulai berganti dari propeller ke jet. Potensi fatique makin besar.

Pada saat itulah muncul anak muda jenius yang mencoba menawarkan solusi. Usianya baru 32 tahun. Postur tubuhnya kecil namun pembawaannya sangat enerjik. Dialah Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, laki-laki kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Habibie-lah yang kemudian menemukan bagaimana rambatan titik krack itu bekerja. Perhitungannya sungguh rinci, sampai pada hitungan atomnya. Oleh dunia penerbangan, teori Habibie ini lantas dinamakan krack progression. Dari sinilah Habibie mendapat julukan sebagai Mr. krack. Tentunya teori ini membuat pesawat lebih aman. Tidak saja bisa menghindari risiko pesawat jatuh, tetapi juga membuat pemeliharaannya lebih mudah dan murah.

Sebelum titik krack bisa dideteksi secara dini, para insinyur mengantispasi kemungkinan muncul keretakan konstruksi dengan cara meninggikan faktor keselamatannya (SF). Caranya, meningkatkan kekuatan bahan konstruksi jauh di atas angka kebutuhan teoritisnya. Akibatnya, material yang diperlukan lebih berat. Untuk pesawat terbang, material aluminium dikombinasikan dengan baja. Namun setelah titik krack bisa dihitung maka derajat SF bisa diturunkan. Misalnya dengan memilih campuran material sayap dan badan pesawat yang lebih ringan. Porsi baja dikurangi, aluminium makin dominan dalam bodi pesawat terbang. Dalam dunia penerbangan, terobosan ini tersohor dengan sebutan Faktor Habibie.

Faktor Habibie bisa meringankan operating empty weight (bobot pesawat tanpa berat penumpang dan bahan bakar) hingga 10% dari bobot sebelumnya. Bahkan angka penurunan ini bisa mencapai 25% setelah Habibie menyusupkan material komposit ke dalam tubuh pesawat. Namun pengurangan berat ini tak membuat maksimum take off weight-nya (total bobot pesawat ditambah penumpang dan bahan bakar) ikut merosot. Dengan begitu, secara umum daya angkut pesawat meningkat dan daya jelajahnya makin jauh. Sehingga secara ekonomi, kinerja pesawat bisa ditingkatkan.

Faktor Habibie ternyata juga berperan dalam pengembangan teknologi penggabungan bagian per bagian kerangka pesawat. Sehingga sambungan badan pesawat yang silinder dengan sisi sayap yang oval mampu menahan tekanan udara saat tubuh pesawat lepas landas. Begitu juga pada sambungan badan pesawat dengan landing gear jauh lebih kokoh, sehingga mampu menahan beban saat pesawat mendarat. Faktor mesin jet yang menjadi penambah potensi fatique menjadi turun.

Riwayat keilmuan Habibie dimulai ketika ia mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Technische Hochschule Die Facultaet Fue Maschinenwesen, Aachen, Jerman, pada 1956. Selama setahun sebelumnya, Habibie tercatat sebagai mahasiswa ITB. Setelah mengantongi gelar diploma ingenieur jurusan konstruksi pesawat terbang, tahun 1960, sambil melanjutkan kuliahnya, ia menjadi asisten Riset Ilmu Pengetahuan Institut Konstruksi Ringan di kampusnya.

Otak Habibie makin kelihatan encer kala gelar doctor ingenieur-nya disabet dengan predikat suma cum laude pada 1965. Rata-rata nilai mata kuliahnya 10. Presatsi ini membuatnya dipercaya jadi Kepala Departemen Riset dan Pengembangan Analisis Struktur di Hamburger Flugzeugbau (HFB). Tugas utamanya adalah memecahkan persoalan kestabilan konstruksi bagian belakang pesawat Fokker 28. Luar biasa, hanya dalam kurun waktu enam bulan, masalah itu terpecahkan oleh Habibie.

Ia meraih kepercayaan lebih bergengsi, yakni mendesain utuh sebuah pesawat baru. Satu diantara buah karyanya adalah prototipe DO-31, pesawat baling-baling tetap pertama yang mampu tinggal landas dan mendarat secara vertikal, yang dikembangkan HFB bersama industri Donier. Rancangan ini lalu dibeli oleh Badan Penerbangan dan Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA).

Habibie hanya sampai tahun 1969 saja di HFB, karena dilirik oleh Messerschmitt Boelkow Blohm Gmbh (MBB), industri pesawat terbesar yang bermarkas di Hamburg. Di tempat yang baru ini, karier Habibie meroket. Jabatan Vice President/Direktur Teknologi MBB disabetnya tahun 1974. Hanya Habibie-lah, orang diluar kebangsaan Jerman yang mampu menduduki posisi kedua tertinggi itu.

Di tempat ini pula Habibie menyusun rumusan asli di bidang termodinamika, konstruksi ringan, aerodinamika dan krack progression. Dalam literatur ilmu penerbangan, temuan-temuan Habibie ini lantas dikenal dengan nama Teori Habibie, Faktor Habibie dan Metode Habibie. Paten dari semua temuan itu telah diakui dan dipakai oleh dunia penerbangan internasional.

Pesawat Airbus A-300 yang diproduksi konsorsium Eropa (European Aeronautic Defence and Space) tak lepas dari sentuhan Habibie. Maklumlah dalam konsorsium ini tergabung Daimler, produsen Mercedes-Benz yang mengakuisisi MBB. Sehingga Habibie berhak atas royalti dari teknologi yang dipakai dalam kendaraan udara berbadan lebar itu. Selain dari Airbus, Habibie juga mendapat royalti dari produsen-produsen roket di banyak negara, yang banyak menggunakan teknologi konstruksi ringannya.

Tahun 1978, Habibie dipanggil pulang ke Tanah Air oleh Presiden Soeharto dan sejak itu kemudian berkiprah dalam upaya pengembangan teknologi kedirgantaraan di Indonesia,hasilnya antara lain pesawat terbang pertama buatan Indonesia CN-235 dan N-250. Prestasi keilmuan Habibie mendapat pengakuan di dunia internasional. Ia menjadi anggota kehormatan berbagai lembaga di bidang dirgantara. Antara lain di : Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l’Air et de l’Espace (Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat).

Sedangkan dalam bentuk penghargaan, Habibie menerima Von Karman Award (1992) yang di bidang kedirgantaraan boleh dibilang gengsinya hampir setara dengan Hadiah Nobel. Dan dua tahun kemudian menerima penghargaan yang tak kalah bergengsi, yakni Edward Warner Award. (Hidayat Gunadi, Hatim Ilwan) / Majalah Gatra Edisi Khusus, Agustus 2004 .

B. J. Habibie Ibnu Khaldum Modern Abad Ini
Pada saat beliau berbicara hampir tiga jam lebih pada Forum Dialog Umum di hadapan ribuan mahasiswa Indonesia di Mesir ini, ada satu hal yang paling menarik bagi saya adalah konsep pemikiran beliau tentang kemajuan sebuah negara. Menurut Pak Habibie kemajuan sebuah negara haruslah ditopang oleh tiga pilar elemen utama, yaitu budaya, agama, ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika tiga pilar ini bisa bersinergi, maka bisa dipastikan sebuah negara bisa berkembang dan maju. Pak Habibie mengistilahkan elemen ini sebagai SDM yang sejatinya potensi tersebut sudah dimiliki oleh setiap individu.

Menurut saya, dalam konsep kenegaraan Pak Habibie ini memiliki kemiripan dengan konsep pemikiran Ibnu Khaldun pada ke 7 Hijriyah. Saya menemukan ada dua titik persamaan antara Pak B.J. Habibi dengan Ibnu Khaldun. Pertama: keduanya adalah seorang ilmuwan yang kemudian terjun ke panggung politik. Kedua: teori pendekatan yang digunakan Pak Habibi dan Ibnu Khaldun, dalam memahami konsep negara sama-sama menggunakan pendekatan budaya, agama dan ilmu pengetahuan.

Dalam mukadimahnya Ibnu kHaldun banyak mengupas tentang keunggulan-keunggulan orang Arab dan kemajuan peradabannya. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa dengan keunggulan peradaban, bangsa Arab bisa maju, dan terbukti bahwa kejayaan itu pernah dicapai oleh bangsa Arab pada masa puncak kejayaan Islam. Sama halnya dengan pandangan Bapak Habibi budaya adalah salah satu komponen utama kemajuan sebuah negara.

Bangsa Indonesia sejatinya memiliki keunggulan budaya yang jauh lebih kaya dibandingkan dengan negara-negara Eropa, apalagi negara Jepang. Keunggulan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut bisa menjadi salah faktor pendukung untuk menjadi negara yang maju. Artinya, jika keunggulan budaya merupakan perasyarat kemajuan sebuah negara, maka keunggulan itu sudah kita miliki. Namun, selain budaya masih ada komponen yang tak kalah pentingnya, yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi.

B.J Habibie: Si Jenius Dari Timur
Ketika berbicara tentang ilmu pengetahuan, Pak Habibie menganalogikan potensi besar yang dimiliki oleh setiap manusia tak jauh berbeda dengan VCD yang masih kosong. Semua orang memiliki potensi besar di dalam dirinya yang bisa dikembangkan dan dilejitkan menjadi kekuatan luar biasa. Potensi itu apa yang disebut dengan otak. Setiap orang memiliki kapasitas otak yang sama untuk berpikir dan menyerap ilmu pengetahuan. Nah, apakah nantinya otak tersebut memiliki daya nilai yang tinggi, hal tersebut terletak kepada softwwere apa yang dimasukkan ke dalam otak tersebut. Sama halnya dengan VCD, jika softwere yang dinmasukkan hanya file-file PDF atau file MP3, jelas akan berbeda nilainya dengan VCD yang memuat program Office atau program Windows, misalnya.

Pak Habibie juga menganalogikan peran kecerdasan dengan perbandingan antara mobil Kijang dan Mercy. Keduanya memiliki bahan baku yang sama, yaitu besi. Lantas mengapa Mercy lebih mahal daripada Kijang? Dari analogi ini, saya bisa memahami bahwa Pak Habibie mencoba untuk mendekatkan pemahaman potensi dengan teori-teori ekonomi. Dalam teori ekonomi, kualitas barang sangat ditentukan oleh pasar. Barang yang berkualitas, juga akan meningkatkan nilai harga jual di pasaran. Semakin besar manfaat barang tersebut, maka juga akan menentukan harga jualnya.

Teori ini sama halanya dengan teori kecerdasan. Kualitas kecerdasan seseorang nantinya ditentukan oleh seberapa besar kebutuhan umat manusia kepadanya. Teknokrat jenius bidang industrri pesawat terbang seperti Pak Habibi misalnya, memiliki nilai jual dan kualitas yang jauh lebih besar daripada sekedar profesor bidang kehutanan atau kelautan. Mengapa? Karena kebutuhan dunia terhadap teknologi industri pesawat terbang jauh lebih membutuhkan daripada sekedar teknorat bidang kehutanan dan kelautan.

Program softwere yang di burning ke VCD sangat menentukan kualitas VCD itu sendiri. Tentu saja, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah softwere berkualitas yang sangat dibutuhkan dunia. Dengan demikian, sebuah negara yang ingin maju dan berkembang haruslah memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju dan berkembang pula. Bapak Habibie sudah membuktikan hal itu. Bertepatan pada tanggal 10 Agustus 1995, untuk pertama kalinya bangsa Indonesia berhasil memproduksi pesawat sendiri N250 yang merupakan karya monemental yang patut kita banggakan. Pak Habibie dan Ibnu Khaldun, sama-sama memandang bahwa ilmu pengetahuan dan tekhnologi faktor utama kemajuan sebuah bangsa.

B. J Habibie: Sang Ilmuwan Yang Religius
Tak kalah mengagumkannya, ternyata sosok seorang Habibie bukan saja unggul dibidang intelektual, tapi beliau juga seorang ilmuwan yang religius. Ada satu kisah yang menarik dari kisah kereligiusan Pak Habibie. Tradisi membaca al-Qur’an, puasa sunat senin kamis, merupakan tradisi rutin yang telah diamalkan Pak Habibie semenjak kecil. Kemanapun beliau pergi, beliau selalu membawa tasbih. Bahkan saat beliau berada di Jerman pun dan menjadi tokoh terhormat dikalangan para ilmuwan disana, beliau dengan bangga memperkenalkan dirinya sebagai muslim yang taat.

Terbukti pada saat beliau menerima sebuah nobel penghargaan dari sebuah organisasi ilmuwan Jerman, dihadapan orang-orang bule yang berpengaruh itu, dengan lantang Pak B.J Habibi mengawali pidatonya dengan ucapan Bismillah dan Assalamualaikum. “Lalu saya katakan, bahwa pendidikan bukanlah milik satu kelompok saja. Tidak ada diskriminasi dalam hak mendapatkan pendidikan baik untuk si kaya ataupun si miskin. Pendidikan adalah hak bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini,” begitulah kata Pak Habibi lantang. Sorak tepuk tangan para hadirin berdiri kagum menyalami beliau.

Usai acara, salah seorang wartawan asing mewancarai beliau. “Pak Habibi, Anda termasuk satu-satunya orang Asia yang mendapatkan nobel penghargaan dari organisasi ilmuwan bergengsi di dunia ini. Saat organisasi ini didirikan sekitar 20 tahun yang lalu, Anda sedang berada dimana?”

Pak Habibi diam sejenak. Beliau menghitung mundur usianya, lalu berusaha mengingat-ngingat masa lalunya sesuai dengan tanggal dan waktu didirikan organisasi bergengsi tersebut. Pak Habibi menjawab, ”Waktu itu saya masih anak-anak. Pada waktu itu saya sedang berada di sebuah gubuk tua yang terbuat dari bambu di pinggiran hutan, memakai kopiah dan sarung Bugis, sembari membaca al-Qur’an.”

“That's incredible! Luar biasa!” seru reporter yang mewancarai beliau. “Saya tidak bisa membayangkan seorang anak kecil yang duduk mengaji di sebuah pelosok desa, akhirnya muncul sebagai bintang yang menerima nobel penghargaan dunia.”

“Semua keberhasilan saya,” lanjut Pak Habibie, tidak terlepas dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sekiranya Allah memberikan saya pilihan untuk memilih salah satu pilihan antara Imtaq dan Iptek, maka jelas saya akan memilih imtaq terlebih dahulu. Namun, kalau saya bisa meminta keduanya, maka saya akan meminta keduanya. Ternyata Alllah mengabulkan permohonan saya,” ujar Pak Habibie.

Rahasia Kesuksesan B. J Habibie
Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa dibalik seorang pria yang hebat terdapat wanita yang hebat pula. Pak Habibie menuturkan bahwa motivasi terbesar beliau meraih semua prestasi dan mimpinya, karena beliau dimanjakan oleh dua orang ibu. Pertama, ibu kandung yang melahirkan beliau. Kedua. Ibu yang mendidik dan mengurus keluarga, sekaligus sebagai pendamping hidupnya. Kecintaan kepada dua orang perempuan inilah yang akhirnya menjadikan Habibie mampu melewati berbagai macam rintangan dan halangan yang mendera. Ibu Ainun, bagi Pak Habibie bukan sekedar istri, tapi sahabat akrab yang tak akan pernah terpisahkan oleh maut sekalipun.

Tak sekedar adanya dua wanita besar besar sebagai motivasi terbesar dalam hidupnya. Saya melihat kesuksesan sosok Pak Habibie adalah kemampuan beliau mensinergikan tiga kekuatan elemen, budaya, agama dan iptek secara seimbang. Secara mikro, Pak Habibi telah berhasil membuktikan bahwa ketiga unsur elemen tersebut bila disinergikan akan mampu membawa perubahan besar yang luar biasa. Secara makro, Pak Habibie juga telah mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia terhormat di mata dunia. Oleh karena konsep pemikiran Bapak Teknologi Indonesia ini beranjak dari pemikiran Ibnu Khaldun, maka tidak berlebihan kalau saya katakan kalau Bapak Prof. Dr. Ing Bachrudin Jusuf Habibie adalah Ibnu Khaldun modern abad ini. Tapi sayang seribu kali sayang, ternyata bangsa ini masih tidak bisa membedakan mana orang yang cerdas dan berprestasi dengan para politisi bermulut besar dan para koruptor yang meruntuhkan martabat bangsa!!!

Ketika beliau pergi haji akhir tahun 1982, mendapatkan pujian, “Habibie, dunia ini tidak tuli dan buta. Bahwa, didunia ini terdapat ilmuwan muslim yang mengangkat nama Islam dimata dunia dengan prestasi dan progresifitas.”
-Pengeran Sultan Abdul Aziz (Saudi Arabia)-

Sabtu, 21 Januari 2012

Dinner in Jimbaran Beach

Dinner in Jimbaran Beach Tak terasa hampir tujuh bulan sudah berlalu, tepat kamis malam, 21 Juli 2011. Sebelum malam tiba, pesawat carter F-50 membawa kami sampai di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Sore itu aktifitas bandara nampak padat, dan sangat banyak pesawat yang parkir disana, namun dari banyaknya pesawat, satu menjadi perhatian. Diwaktu yang bersamaan sedang berlangung pertemuan luar negeri se-ASEAN yang dihadiri oleh menteri luar negeri Amerika, Air Force terlihat parkir di pojok bandara. Ya, itulah yang menjadi pusat perhatian rombongan kami, termasuk aku. Rombongan kami yang di penuhi para artis, awak media, blogger, photografer dan yang lainnya lainnya nampak tidak segan-segan mengabadikan pesawat itu. Mereka tidak menyia-nyiakan diri untuk meabadikan pesawat kebanggaan amerika itu di kamera dan ponsel mereka. Untungnya aku tidak ikut ikutan ”heboh” seperti mereka, bukan masalah jaim atau gengsi. Tapi aku memang tidak terlalu suka dengan hal-hal yang berbau Amerika. Bagi ku mereka sama saja dengan kita. Setibanya di sana, kami disambut bak seorang raja, kalungan bunga oleh gadis Bali bergantian dikalung olehnya, tidak terkecuali aku. Bagiku ini pengalaman pertama, dikalungi bunga oleh penyambut turis, ya kami memang turis. Turis lokal yang mampir ke Bali. (tahukan teman, karena begitu tersanjungnya aku, kalung bunga itu aku bawa kekalimantan, sampai bunganya kering kerontang!!!xixixi, awas ketawa) Bagaimana pun kondisiku saat itu, aku tetap sadar bahwa aku di foto, dengan tampang narsis aku mengambil Pose yang terbaik (ngakak...) Setelah prosesi sambutan, rombongan kami di bawa dengan menggunakan bus pariwisata. Malam itu nampak cerah, rombongan kami yang berjumlah 40 orang menuju sebuah tempat, acara itu sudah di atur oleh panitia dari kementrian pariwisata bekerjasama dengan Indonesia Travel. Acara selanjutnya adalah Dinner. Dinner? Kalian tahu kan apa itu dinner? Terus terang, ketika aku menggunakan bahasa itu, seolah aku seorang pejabat yang akan dilayani oleh pelayan-pelayan yang cantik dan rupawan. Dinner biasa digunakan untuk acara makan malam bersama. Walaupun memiliki arti seperti itu, namun kata dinner bagikumemiliki makna yang begitu dalam, lebih dari sekedar makan malam. Dinner memiliki ”gengsi” tersendiri bagiku dibanding ”makan malam”. Entah kenapa, aku juga tidak tahu!!! (dasar udik yaaa..) Bus yang membawa kami berhenti, masing-masing dari kami mengemaskan barang bawaan. Hops! Kakiku sudah menginjak aspal, perut ku sudah tidak sabar ingin mencicipi makanan khas Bali, dengan kondisi tubuh yang sudah lelah, aku ikut berjalan mengikuti rombongan. Tidak mudah bagi ku, melakukan perjalanan sejauh dari jakarta mampir di Solo, kemudian dari Solo ke Bali. Apa lagi hanya makan nasi sekali, bagi ku sebagai orang Banjar, kalau makan tidak menggunakan nasi bukan makan namanya. Aku ingat, makan hanya pagi hari saat di Jakarta, selebihnya makan-makanan ringan saat terlantar di bandara Adi Sumarmo Solo siang itu. Di tengah-tengah jalan aku banyak menemukan sesajen-sesajen berbungkuskan daun pisang. Entah lah, aku tidak tahu apa namanya... Di kiri kananku banyak cafe-cafe yang buka, melihat rombongan masuk kesalah satu cafe aku pun bergegas ikut. Dalam keadaan tidak sadar, aku menginjak pasir di cafe itu... beberapa saat kemudian aku baru tahu kalau itu sebuah pantai, ya... pantai, kami Dinner di pinggir pantai ”Duuuh Romatisnya” hatiku berdesir Aku ingin sekali loncat-loncat kegirangan, karena baru pertama kali menemukan suasana se romantis itu, di temani lilin di meja dan mendengar deburan geloombang, serta hembusan udara pantai yang membuatku melayang, kelelahan dan kelaparan ku seolah tergantikan dengan suasananya. Aku senyum-senyum sendiri, mungkin. Karena suasananya cukup gelap, dan hanya di temani lampu duduk, tepatnya lilin di meja. Kaki ku merasakan sentuhan lembut dengan pasir, pasirnya sangat berbeda dengan pasir yang aku kenal. Disana pasirnya lembut dan halus, (aku ingin bermain pasir) untungnya, aku masih memiliki harga diri, jika tidak mungkin aku sudah berlari-larian kegirangan dengan suasana seindah itu. Aku benar-benar menikmati makam malam, lampu sorot yang meninari pantai nampak berputar-putar, aku melihat bintang juga berkelap-kelip. Saat itu suasana begitu istimewa, dan langit begitu cerah, makan malam beratapkan langit dan beralaskan pasir tidak akan pernah aku lupakan. Sperti biasa, aku dan teman tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, jeprat-jempreeet., Yap, foto bagaikan sebuah ritual yang rugi kalau dilewatkan. B E R S A M B U N G ...